“Seharusnya Perkimtan sudah tahu titik fasum dan fasos, tetapi hingga rapat terakhir pun mereka hanya bertanya tanpa memberikan kejelasan. Permasalahan ini terus berlarut-larut tanpa solusi konkret,” paparnya.
Harianto juga mengungkapkan bahwa PT Menteng Griya Lestari terkesan menolak pembangunan masjid di kawasan Central Hills. Padahal pemilik lahan seharusnya memiliki kewajiban yang sama dengan perusahaan pengembang yakni Central Group.
Bahkan, warga mencatat bahwa dalam proyek-proyek pengembangan sebelumnya, rata-rata tidak tersedia masjid atau musala yang memadai. Mereka memilih untuk mengalihkan fasum ke kepentingan komersial.
“Seharusnya, pemilik lahan, pengembang dan pemerintah sudah memikirkan kebutuhan lokasi ibadah sejak awal perencanaan, bukan justru mengalihkan fasum untuk kepentingan komersial seperti tempat kuliner,” tegasnya.
Warga juga mempertanyakan peran Badan Pengusahaan (BP) Batam dalam mengawasi rencana tata ruang di kawasan tersebut. Menurut mereka, BP Batam seharusnya memastikan lokasi untuk tempat ibadah telah dialokasikan sebelum mengeluarkan izin perumahan.
“Ada fatwa planologi yang dikeluarkan BP Batam. Disitulah peran BP Batam. Karena pasti pihak pengembang atau pemilik lahan menyertakan site plan, nah, disitu BP Batam seharusnya tidak mengeluarkan Fatwa Planologi ketika tidak ada fasum fasos untuk tempat ibadah. Adalah kalau di hitung, jumlah fasum fasos nya belum memenuhi ketentuan yang ada. Tetapi sayangnya mereka tidak memastikan. Dugaan saya BP Batam pun main mata dengan PT MGL dan Central Group,” katanya.
Ia berharap, dalam masa kepemimpinan Amsakar-Li Claudia, persoalan yang sama tidak terulang dan dapat di perbaiki.